HIKMAH DI BALIK KEKALAHAN DI DKI: JADILAH MURABBI
Budi Yanto Husodo
(Ketua MPW PIP PKS Malaysia)
Alhamdulillah, bersama beberapa ikhwah, pada hari Ahad 17 September saya berkesempatan menghadiri jamuan raya IKRAM Johor. Pada perjamuan tersebut kami berbincang-bincang dengan Prof Tarmizi, Ahli Jawatan Kuasa IKRAM Pusat (Lajnah Siyasi).
Seperti biasa, setiap berjumpa dengan beliau, saya selalu meminta pandangan-pandangan beliau tentang berbagai peristiwa politik di tanah air. Ada beberapa sebab mengapa saya begitu antusias dengan pandangan beliau.
Pertama, beliau memang memiliki minat yang sangat besar terhadap politik Indonesia. Kedua, analisis dan prediksi beliau tentang politik Indonesia selama ini sangat akurat. Termasuk hasil raihan suara PKS di Pemilu 2009. Ketiga, karena beliau “orang luar”, biasanya lebih jernih (baca : objektif) melihat situasi.
Pada perjumpaan ini saya tanyakan bagaimana beliau melihat “kekalahan” kita di Pilkada Jakarta. Ada banyak hal yang beliau sampaikan. Beberapa di antara yang masih saya ingat,
Pertama, ini adalah konfirmasi atas tidak rasionalnya pemilih kita. Tampilan dan terutama citra lebih menarik ketimbang visi, misi, dan program kerja yang kongkret.
Kedua, strategi pencitraan media besar-besaran oleh timses Jokowi-Ahok sangat berhasil. Dengan strategi ini, sebagian besar masa pemilih Jakarta terpukau pada pasangan ini. Termasuk kelas menengahnya. Hal ini mengulangi apa yang terjadi pada kasus SBY di Pilpres 2009. Sayangnya ini tidak dilakukan oleh Timses Dr. Hidayat. Mungkin karena terbatasnya dana.
Yang terakhir menurut Prof Tirmizi, pada akhirnya kita hanya akan menang dengan sesungguhnya ketika sudah terjadi perubahan dalam dada para pemilih. Ketika mengatakan ini beliau menunjuk dadanya. Sepanjang para pemilih masih dengan cara pandang dan keyakinan yang sama susah bagi partai dakwah untuk meraih suara yang signifikan.
Perubahan Sejati
Pernyataan Prof Tarmizi yang terakhir ini menurut saya layak untuk kita renungkan. Agar jangan sampai kita berpikir dengan cara yang sama dengan mereka yang tidak sedang berdakwah, yang mengejar kemenangan semata-mata dengan logika politik. Di antara prinsip perubahan yang kita yakini adalah :
“Innallaha laa yughayyiru ma biqaumin hatta yughayyiru maa bianfusihim”. “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sebelum berubah apa yang ada di dalam hati mereka” (QS 13 : 11)
“Ala inna fil jasadi mudhghoh. Idza soluhat sholuhal jasada kulluhu, wa idza fasadat fasadal jasada kulluhu. Ala wahiyya AL Qalb”. “Sesungguhnya di dalam tubuh kita ini ada segumpal daging. Kalau dia baik maka baik seluruh diri kita dan kalau dia rusak maka rusak pula seluruh diri kita. Dia adalah hati” (Al Hadits).
Kesimpulan dari ayat dan hadits ini adalah tidak akan ada perubahan hakiki tanpa adanya perubahan aqidah, persepsi, keyakinan, dan apa-apa yang mewarnai hati manusia. Dalam materi tarbiyah yang pernah kita dapatkan, yaqzhotul ummah selalu dimulai dengan yaqzhotur ruhiyyah.
Jadilah Murabbi
Apa yang akan menyebabkan terjadinya yaqzhotur ruhiyyah? Jawabannya adalah tarbiyyah. Kalaulah perubahan itu bisa diwujudkan dengan semata-mata kekuasaan politik tentu Rasulullah SAW tidak akan menyia-nyiakan tawaran dari Quraisy untuk menjadi raja sebagai konsesi beliau meninggalkan dakwah. Namun beliau lebih memilih menekuni mentarbiyah umat, hingga mereka memiliki kesiapan yang diperlukan sebagai basis ketika beliau pada waktunya mengambil alih kekuasaan politik.
Berbagai “kekalahan politik” (baca : tidak tercapainya target-target politik) kita mulai dari pemilu 2009 hingga pilkada DKI mungkin merupakan pertanda bahwa basis kita (qaidah ijtimaiyyah) di tengah-tengah massa pemilih masih belum cukup kuat.
Pesawat dakwah kita yang besar ini tidak akan bisa terbang tanpa landasan yang kuat. Ketika kita terus berusaha meningkatkan prestasi amal-amal siyasi, kita juga perlu terus mengokohkan dan memperluas amal tarbawi kita agar berubah apa yang ada di dalam hati masyarakat kita sesuai dengan tuntunan Islam seperti yang kita yakini.
Di sinilah letak peranan strategis para murabbi. Kita memerlukan murabbi dalam jumlah yang besar. Karena itu, adalah sebuah hal yang memiriskan hati ketika data-data kaderisasi di berbagai DPW menunjukkan bahwa banyak kader kita, khususnya kader inti, yang tidak mentarbiyah halaqah.
Mengapa hal ini terjadi? Apakah karena kita sudah kekurangan orang untuk ditarbiyah? Apakah ratusan ribu bahkan jutaan TKI di Malaysia dan saudara-saudara kita di tanah air bukan potensi mad’u yang besar untuk kita halaqahi? Apakah di sekitar kita tinggal atau beraktifitas tidak ada 2, 3, 5, 10 orang Indonesia yang bisa kita dekati?
Seorang Masyaikh kita pernah berujar,
“Innaa akhash shaadiqi laa budda an yakuuna murabbiyyan”. “Sesungguhnya seorang Akh sejati itu pastilah seorang murabbi”.
Ini saya kira sudah lebih dari cukup untuk memicu motivasi kita. Saya jadi teringat lagi tema TFT Nasional I’dad Murabbi yang saya ikuti tahun 2011 : “TELADANI NABI, JADILAH MURABBI”.
Johor Bahru, 17 September 2012
No comments: